Selamat sore teman- teman,artikel kali ini yang akan dibahas yaitu mengenai sejarah perusahaan online store bukalapak...oke langsung aja yah kita ulas...
Ide selalu datang dari masalah yang kita hadapi dan kemudian kita
hubungkan kompetensi apa yang kita miliki dengan ide atau peluang yang
ada, misalnya dulu saya bangun Suitmedia, kami membangun kompetensi
untuk membuat website dan desain yang bagus untuk klien, me-marketingkan
website dan sebagainya. Di saat yang sama teman-teman kami sering
tertipu saat belanja online, hal-hal seperti ini menjadi pijakan untuk
kami membuat Bukalapak.com yang ternyata bisa jalan, karena kami punya
kompetensi dalam membuat dan me-marketingkan website. Jadi, selalu
berawal dari titik apa yang kita punya. Suitmedia dulu berawal dari
kompetensi para foundernya di engineering, lalu kami menarik orang
design, kok rasanya kompetensi kami di design juga oke, akhirnya kami
buat produk yang ternyata jalan.
Kalau Hidup idenya berasal dari karyawan kami, ada yang nyeletuk
pingin punya ide jual jilbab online, momentnya pas saat ramadhan, ya
sudah kami coba. Kebetulan di kantor ini kami sangat terbuka akan ide.
Jika teman-teman ada ide dan manajemen merasa punya potensi pasar, ya
sudah kami coba jalankan. Karena resources kami di Suitmedia sudah ada
semua, Suitmedia sebagai engine titik awal kami.
Jadi fokus di kompetensi saja, jangan fokus di sesuatu yang bukan di kompetensi kita.
Ide tidak hanya di awal, tetapi juga ada di proses, justru ide yang
ada di saya cenderung setuju kalau ide itu cheap, yang penting
eksekusi. Ide gampang ditiru tetapi eksekusinya yang luar biasa sulit
ditiru dan tentu saja eksekusi butuh ide. Ide mau buat produk apa, ide
untuk menggaet user, strateginya seperti apa, justru saya melihat ide
ada di dalam proses.
Masuk niche sepeda karena tidak sengaja
Kenapa kami masuk di niche sepeda ? karena … tidak sengaja !
Tool marketing kami saat itu hanya Facebook. Kami spend Facebook ads
hanya sedikit, kami tidak spend budget untuk Adwords, tidak spend budget
untuk iklan di majalah, hanya dari teman ke teman yang mengajak join
Bukalapak, kami add teman-teman di Facebook dan mengajak mereka. Bahkan
orang yang kami tidak kenal juga kami add, misalnya orang yang me-like
fanspage suatu toko online, kami kan tidak kenal dan kami hanya merasa
orang-orang me-like toko online harusnya suka jualan online. Saat itu
kami benar-benar ketok pintu.
Kebetulan kebanyakan dari orang yang kami add ini suka sepeda. Kami
juga terbantu beberapa moment seperti sepeda fixie yang waktu itu cukup
dashyat, juga Car Free Day.
Kombinasi dari kontinuitas, fokus, targeted pada orang-orang yang
menurut kami suka jualan online konsisten mendekati calon pembeli, juga
faktor luck karena trend sepeda sedang rising. Hal seperti ini yang akan
membangun Bukalapak.com
Pada saat itu hanya 3 orang yang terlibat di Bukalapak, 1 staf full
time, 1 bantu-bantu karena aslinya engineer, lalu terakhir saya sendiri,
yang paling massive mengundang orang masuk Bukalapak waktu itu saya di
sela-sela pekerjaan di Suitmedia atau malam harinya setelah pekerjaan
selesai. Itulah kenapa saya memutuskan pindah dari Suitmedia untuk fokus
di Bukalapak, karena yang banyak memperjuangkan di awal juga saya, ide
Bukalapak waktu itu juga berasal dari saya.
Hal seperti ini dilakukan oleh hanya 2 orang staf kami, 1 staf
bantu-bantu karena aslinya engineer, jadi ya 1 orang saja sebenarnya,
dibantu oleh saya kami lakukan secara berkelanjutan, sehari 1 orang bisa
mengajak 100 orang lewat Facebook messages untuk mengajak orang
berjualan di Bukalapak.
Kami menganggap progress Bukalapak saat ini tidak secepat yang kami
bayangkan, cobalah lihat Pinterest, Twitter yang tractionnya dahsyat.
Dengan pertumbuhan seperti sekarang, mungkin butuh 10 tahun baru bisa
selevel dengan tier two website, seperti Okezone misalnya, oleh karena
itu kami harus bekerja lebih keras.
Kalau dengan 2 orang staf kami bisa jalan, dengan 10 orang harusnya
kami bisa lebih cepat, cara berpikir saya seperti itu, kalau ternyata
hasilnya tidak begitu ya berarti ada yang salah.
Traction dan Memecahkan Masalah di Ecommerce
Untuk mendapatkan traction atau result bagus dari suatu marketing
effort, startup harus menyelesaikan masalah yang besar atau yang paling
matter.
Kalau di Indonesia, untuk E-commerce, challenge di Indonesia itu
kepercayaan. Kalau saya tanya kenapa belum belanja online, dari 10 orang
yang saya tanya, 8 menjawab tidak percaya, apakah barang yang dibeli
bisa sampai, sampainya cepet atau tidak, barangnya apakah cocok dengan
ekspektasinya, dari 8 orang ini, 2 orang di antaranya menjawab takut
tertipu, menurut saya sebenarnya bukan masalah keamanan, tetapi masalah
kepercayaan. Jadi kami harus fokus bagaimana menyelesaikan masalah
kepercayaan ini, misalnya mengedukasi seller.
Di ecommerce ada 2 sisi : seller dan buyer. Masalah di sisi seller
adalah bagaimana mereka dapat revenue tinggi dan sebaliknya buyer butuh
seller yang menjual barang bagus. Keduanya ini harus di manage.
Saya pernah ketemu counter HP, barangnya dia murah, terus saya tanya
kenapa tidak jual online? Dia jawab “takut perang harga, di semua forum
online pada nawar-nawar, kompetitor juga ikut menurunkan harga”.
Kecenderungan sekarang, jualan online juga jadi ajang price war, di sisi
lain, pengusaha online ini juga tidak punya brand. Seharusnya mereka
bisa menonjolkan service dan kelebihan dia yang lain. Online shop
seharusnya branded.
Kami sering membuat kisah sukses dari seller online lalu kami sebar
ke Twitter, gunanya untuk mengedukasi rekan-rekan seller bahwa untuk
menjadi seller terpercaya itu penting sekali, sekarang juga ada beberapa
seller yang berani jual sedikit mahal, karena memiliki banyak
rekomendasi, sehingga buyer memilih bayar lebih mahal tetapi barang
sampainya cepat dan terpercaya. Aspek ini yang masih kurang di sisi
online, saat ini mayoritas buyer melihat semua seller sama saja, price
war diutamakan, walaupun ada buyer yang bisa menyelidiki seller mana
yang sudah aktif di berbagai forum online, tetapi orang awam tidak bisa
membedakan.
Kredibilitas toko online sangat dipengaruhi oleh good experience.
Kalau jualan barang, barangnya harus bagus, sampai ke pihak buyer juga
harus bagus, packagingnya harus bagus, sampainya cepat. Hal seperti ini
banyak sekali pekerjaan rumahnya, kadang di online marketplace juga ada
seller yang deskripsinya tidak sesuai dengan barangnya, ini yang menjadi
pekerjaan rumah bagi online marketplace di Indonesia untuk
bareng-bareng mengedukasi seller.
Fundraising
Fundraising itu sebenarnya alat untuk tumbuh mencapai visi kita. Tetapi saya melihat banyak startup yang menjadikannya tujuan.
Kalau kita tidak butuh alat, dan sudah punya alat lainnya ya kita tidak tidak perlu pakai.
Di Hijup, kami bisa profitable since first month, tidak butuh fundraising, kalau dikasih duit malah bingung buat apa?
Kalau Bukalapak, memang berbeda, sangat challenging, visinya
menyediakan service bagi penjual dan pembeli supaya saling percaya via
online, business modelnya unik, sekarang belum ada business model
marketplace yang untung, kebanyakan tidak mengenakan charge ke user.
Kompetisinya sendiri juga ketat, sehingga kami butuh “bensin” dalam
bentuk fundraising supaya bisa bernafas lebih lama.
Bagaimana cara dapat fundraising? Kerja. It’s all about execution
& performance, dana yang didapat itu digunakan untuk bekerja, yang
menentukan nilai perusahaan kita itu ya hasil kerja kita. Kalau kerjaan
kita bagus, investor akan respek dengan kita.
Kadang ada juga investor series A 10 miliar, saya bahkan harus
menahan-nahan tawaran ini, karena tidak masuk akal, kami saja merasa
belum show dan harus menyiapkan dapurnya.
Di Bukalapak kami cenderung ngirit dan hati-hati, tidak sembarang
eksekusi strategi, hiring karyawan banyak-banyak dengan dana dari
investor, saya ngetes dulu, misal kalau mau kampanye sosial media dengan
target 100 ribu follower, jangan langsung bayar kanan kiri untuk tweet
berbayar. Karena bisnis itu perjalanan long term, marathon, bukan
sprint. Simpan dana sedikit-sedikit, yang tadinya habis 1 tahun, kalau
hemat bisa tahan sampai 3 tahun. Sampai pada titik tertentu kalau kita
lihat dapat tractionnya, lalu berpikir untuk expand, baru kita perlu
fundraising. Misal ide kita bekerja di Jakarta, kita tes lagi di
Bandung, bisa jalan, berarti make sense dong kalau kita spend budget
untuk expand ke Surabaya, Semarang dan kota lainnya karena sudah ada
role modelnya di Jakarta dan Bandung.
Kalau sekarang, sepeda sebagai role model tidak mudah diduplikasi ke
lainnya karena momentum niche sepeda yang unik, business model kami juga
belum siap untuk diduplikasi, kalau dipaksakan, kami kuatir business
modelnya kurang kuat.
Saya melihat banyak startup yang besar sudah menemukan business model
yang pas dan menghasilkan uang, Amazon dari awal sudah generate money,
Ebay di hari pertama launching sudah generate money, untuk upload buyer
harus bayar, Rakuten juga ada fixed monthly fee dan fee transaction.
Jadi kalau pendapat saya, business modelnya harus benar-benar bekerja dulu baru lakukan fundraising.
Bootstrapping
Saat Bukalapak baru ada 3 orang (hanya 2 staf dan saya sendiri, 2
orang ini pun sambil mengerjakan project di Suitmedia), kami disubsidi
oleh Suitmedia, resource kami sangat terbatas, it’s all about priority,
kami harus fokus pada apa yang really matter.
Satu orang ngurus teknologinya, satunya ngajakin orang. Sudah, tidak usah hiring-hiring lagi sampai itu jalan.
Prinsip ini kami pegang sampai sekarang. Apa yang paling penting itu
kami kerjakan satu hal itu dengan sangat fokus. Kalau sambil mikirin
yang lain, bisa tidak fokus, tidak bisa detail dan bisa-bisa tidak ada
hasilnya.
Kalau investor datang, saya cenderung tidak minta-minta, saya percaya
kami punya power untuk menghasilkan performance bagus, tidak di funding
pun kami juga bisa jalan walaupun agak pelan.
Founder Bukalapak
Founder Suitmedia/Bukalapak awalnya saya, Achmad Zaky dan Nugroho, kami berdua dari Teknik Informatika ITB.
Fajrin teman dekat saya, masuk belakangan ke Bukalapak, resign dari
BCG (Boston Consulting Group), cerita tentang Fajrin ini juga menarik.
Saya sendiri jujur sebelum memulai memulai ini semua, lulus kuliah
saya apply ke BCG dan Mckinsey. Goal saya waktu itu Cuma 2 : Kerja di
tempat yang paling bagus, which is BCG dan Mckinsey waktu itu. Tetapi
saya gagal dapat pekerjaan di dua tempat ini, di dua tempat ini
rata-rata mereka hanya hiring 1 orang, sangat challenging. Lalu saya
rekomendasikan Fajrin, saat itu dia belum business minded, sangat
scientist minded karena hobinya matematika. Fajrin ikut test, terus
lolos.
Berjalan setahun, kami berdua sering saling kontak, suatu saat Fajrin
bilang ke saya kalau dia bosan, kurang challenging Di BCG dia advice
strategi kepada konglomerat, bagi dia “that’s it” selamanya dia jadi
advisor aja, dia ingin bangun sesuatu dari nol, lalu suatu saat, saya
bilang ke dia, “Suitmedia jalan nih!” Kami punya client base yang bagus,
kami ada kas cukup lumayan, ada Bukalapak, saya juga cerita kalau saya
lagi ngobrol dengan Takeshi Ebihara dari Batavia Incubator, lalu dia
tanya “wah? Beneran nih?” lalu Fajrin ikut gabung dan ikut deal dengan
investor. Saat itu saya keder juga karena saya tidak sanggup menggaji
dia begitu tinggi, akhirnya saya kasih share.
Saya sendiri backgroundnya technical, waktu kuliah tingkat tiga
sempat buat startup Deft Technology namanya, coding sendiri, sempat
punya warung! Benar-benar offline store, jadi saya ada background bisnis
dan juga teknikal. Sejak SMA saya juga sering jualan kecil-kecilan.
Tapi sebenarnya waktu baru mau masuk ITB tujuan saya cari kerja bagus
dengan gaji besar, tapi sambil berjalannya waktu di ITB, saya merasakan
perubahan, kata orang-orang di ITB sangat entreprenerial, karena
lulusannya bisa jadi role model, ada Aburizal Bakrie, Arifin Panigoro,
di sana imagenya entrepreneur itu keren. Makanya pilihan saya Cuma 2 :
Kerja di perusahaan seperti Mckinsey, BCG atau buat perusahaan sendiri
dan perusahaannya harus jadi besar.
Kami sering membicarakan valuasi saham kami dengan detail, valuasi
saham dibangun dari kerja, setiap pekerjaan yang kita buat membuat nilai
pekerjaan meningkat, semakin efektif dan semakin cepat kita kerja,
membuat value perusahaan cepat naik. Senantiasa kami mencari cara
bagaimana kita kerja yang menghasilkan value.
Kalau saya menilai perusahaan dari kas dan people, bila orang berani
bayar untuk service kami, kas akan datang, makanya bagi kami, ngirit itu
penting banget, harus yakin apa yang kita spend itu building value
perusahaan.
OKe sekian dulu artikel kali ini,semoga bermanfaat ... ^_^
Selasa, 01 Maret 2016
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar